Senin, 01 Mei 2017

Pembangunan Ekonomi D.I. Yogyakarta

tugas 2


A.    Pertanian
Pertanian merupakan sektor hulu (primer) yang kegiatannya berbasis pada sumber daya alam di mana sebagian besar produk akhirnya digunakan sebagai bahan baku (input) utama di sektor industri pengolahan serta konsumsi rumah tangga. Kegiatan ini tersebar merata hampir di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dengan keragaman produk-produk unggulan yang dihasilkan oleh setiap wilayah. Pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta. Peranan sektor pertanian dalam penciptaan PDRB DIY selama lima tahun terakhir sekitar 11 persen. Sementara itu jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian sekitar 26 persen.
B.     Luas Lahan Pertanian
Lahan merupakan faktor produksi penting dalam proses produksi pertanian. Pada tahun 2015 luas lahan pertanian di Provinsi D.I. Yogyakarta mencapai 242,25 ribu hektar atau sekitar 76 persen dari total luas lahan di DIY. Lahan pertanian tersebut terdiri dari lahan sawah seluas 55,43 ribu hektar (22,88 persen) dan lahan bukan sawah seluas 186,82 ribu hektar (77,12 persen). Sleman merupakan kabupaten dengan lahan sawah paling luas, yaitu mencapai 21,91 ribu hektar atau sekitar 40 persen dari total lahan sawah di DIY. Sementara untuk lahan pertanian bukan sawah sebagian besar terletak di Kabupaten Gunungkidul yang mencapai 117,44 ribu hektar atau sekitar 63 persen dari total lahan pertanian bukan sawah di DIY.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi, terjadi perubahan penggunaan lahan/alih fungsi lahan. Selama periode 2010 – 2015 terjadi penyusutan lahan sawah di DIY seluas 1,11 ribu hektar atau rata-rata seluas 223 hektar per tahun. Sedangkan untuk lahan bukan sawah terjadi peningkatan seluas 3,50 ribu hektar selama 5 tahun atau meningkat rata-rata 700 hektar per tahun.
Penyusutan lahan sawah perlu memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah karena menyangkut penyediaan pangan bagi masyarakat. Lahan sawah merupakan faktor produksi utama dalam proses produksi padi, karena sebagian besar produksi padi di DIY dilakukan di lahan sawah. Apabila dirinci menurut kabupaten/kota dan jenis lahan sawah terlihat bahwa laju konversi lahan sawah di Kabupaten Sleman menempati urutan tertinggi yaitu mencapai 912 hektar (81,94 persen) selama 5 tahun atau rata-rata 182 hektar lahan sawah di wilayah ini beralih fungsi. Urutan ke dua adalah Kabupaten Bantul dengan penyusutan lahan sawah seluas 240 hektar (rata-rata 48 hektar/tahun).
Berdasarkan sistem pengairannya terlihat bahwa selama lima tahun terakhir telah terjadi penyusutan lahan sawah beririgasi seluas 1.450 hektar. Dengan demikian, dalam setahun luas lahan sawah yang beirigasi berkurang sekitar 290 hektar. Hampir di semua kabupaten/kota kecuali Kabupaten Kulonprogo terjadi penyusutan lahan sawah beririgasi. Penyusutan paling tinggi terjadi di Kabupaten Sleman, yaitu mencapai 904 hektar atau sekitar 62,34 persen, kemudian diikuti oleh Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, dan Kota Yogyakarta dengan luas masing-masing 362 hektar (24,97 persen), 247 hektar (17,03 persen), dan 23 hektar (1,59 persen). Sedangkan di Kabupaten Kulonprogo terjadi penambahan lahan sawah beririgasi seluas 86 hektar.
Disi lain, luas lahan sawah tadah hujan mengalami kenaikan sekitar 337 hektar selama periode 2010-2015. Kenaikan ini terjadi di Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Bantul masing-masing seluas 247 hektar dan 122 hektar. Sedangkan di Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Sleman luas lahan sawah tadah hujan mengalami penyusutan masing-masing 24 hektar dan 8 hektar.
C.     Tanaman Pangan
Tanaman pangan mempunyai peranan yang cukup besar dalam perekonomian DIY. Kontribusi tanaman pangan terhadap pembentukan PDRB DIY selama periode 2011-2015 sekitar 4 persen dan terhadap Sektor Pertanian sekitar 36 persen (Gambar 1.). Selain itu, tanaman pangan juga menjadi andalan dalam menjaga dan meningkatkan ketahan pangan wilayah. Ketersediaan pangan merupakan masalah yang krusial bagi pemerintah dan masyarakat. Secara turun temurun padi/beras dan palawija (jagung, kedelai, ubi kayu, dan kacang tanah) merupakan bahan pangan pokok bagi bangsa Indonesia termasuk DIY. Namun demikian, budaya mengkonsumsi beras masih mewarnai sebagian besar masyarakat DIY.
Animo masyarakat untuk menanam padi juga masih cukup tinggi. Hal ini terlihat dari tingginya luas panen dan peningkatan produktivitas tanaman padi. Selama periode 2013-2015 produksi padi di DIY agak berfluktuasi namun cenderung meningkat. Pada tahun 2013 produksi padi di DIY mencapai 921,8 ribu ton, kemudian sedikit menurun pada tahun 2014 menjadi 919,6 ribu ton. Tahun 2015 produksinya meningkat 6,04 persen menjadi 975,1 ribu ton. Peningkatan ini murni disebabkan oleh peningkatan produktivitas, karena luas panen padi mengalami penurunan dari 158,9 ribu hektar pada tahun 2014 menjadi 155,8 ribu hektar pada tahun 2015. Penurunan tersebut terjadi baik pada padi sawah maupun padi ladang. Penurunan luas panen padi sawah seiring dengan penyusutan luas baku lahan sawah di DIY. Di sisi lain, produktivitas tanaman padi pada tahun 2015 meningkat 8,13 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari 57,87 kuintal per hektar menjadi 62,57 kuintal per hektar. Peningkatan ini terutama akibat dari kenaikan produktivitas tanaman padi sawah. Sementara produktivitas padi ladang relatif stagnan.
Sebagian besar produksi padi di Provinsi DIY berasal dari lahan sawah dan hanya sebagian kecil saja yang merupakan padi ladang. Pada tahun 2015 produksi padi sawah mencapai sekitar 80 persen dari total produksi padi di DIY dan 20 persen sisanya merupakan padi ladang. Kabupaten Sleman merupakan produsen utama padi sawah di DIY. Pada tahun 2015 sekitar 43,76 persen produksi padi sawah di DIY berasal dari Kabupaten Sleman. Kemudian diikuti oleh Kabupaten Bantul, Kulonprogo, dan Gunungkidul dengan kontribusi masing-masing sebesar 26,57 persen, 16,94 persen, dan 12,62 persen. Sementara itu sentra produksi padi ladang adalah Kabupaten Gunungkidul dengan kontribusi sekitar 98,49 persen.
Berdasarkan fakta di atas diketahui bahwa Sleman merupakan penyangga utama penyedia pangan pokok bagi masyarakat DIY. Namun ironisnya, laju konversi lahan sawah di wilayah tersebut juga menempati posisi tertinggi. Pesatnya pembangunan komplek perumahan dan bangunan bisnis lainnya merupakan faktor utama tingginya laju konversi lahan sawah di Kabupaten Sleman. Perkembangan ekonomi yang cukup tinggi dan lokasi yang cukup strategis merupakan daya tarik yang cukup potensial bagi investor untuk melakukan investasi di wilayah ini. Selain Sleman, Bantul juga merupakan sasaran alternatif bagi pengembang untuk membangun komplek perumahan sehingga laju konversi lahan sawah di Bantul juga cukup tinggi. Kondisi tersebut disebabkan oleh kedua wilayah tersebut lokasinya yang cukup strategis, yaitu berada di sekitar pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi. Hal ini perlu memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah untuk mengendalikan laju konversi lahan sawah agar ketahanan pangan di wilayah DIY data terjaga. Konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian akan mengurangi potensi produksi pertanian.
D.    Hortikultura
DIY mempunyai berbagai jenis tanaman hortikultura yang bisa dimanfaatkan untuk konsumsi atau lainnya. Jenis tanaman hortikulturan yang dicatat perkembangannya adalah tanaman sayuran, buah-buahan, tanaman biofarmaka, dan tanaman hias. Salah satu ciri khas produk hortikultura adalah perisabel atau mudah rusak karena segar.
Beberapa jenis tanaman sayuran yang banyak diproduksi di DIY antara lain bawang merah, sawi, cabe besar, cabe rawit, dan jamur. Produksi tanaman sayuran selama periode 2013-2015 cenderung berfluktuasi. Produksi bawang merah pada tahun 2013 tercatat sebesar 9,54 ribu ton, kemudian meningkat menjadi 12,36 ribu ton pada tahun 2014, dan pada tahun 2015 turun menjadi 8,80 ribu ton. Produksi sawi juga mengalami pasang surut, dari 6,45 ribu ton (2013), menjadi 5,61 ribu ton (2014), dan 6,45 ribu ton (2015). Produksi jamur tahun 2013 tercatat 163,65 ribu ton, kemudian turun menjadi 139,63 ribu ton (2014), dan naik lagi menjadi 143,16 ribu ton (2015). Di sisi lain, produksi cabe besar cenderung meningkat dari 17,13 ribu ton (2013), menjadi 17,76 ribu ton (2014), dan 23,39 ribu ton (2015). Sedangkan cabe rawit produksinya cenderung stagnan pada level produksi sekitar 3,2 ribu ton.
Kabupaten Sleman dan Kulonprogo merupakan daerah penghasil sayuran utama di DIY. Kabupaten Kulonprogo merupakan sentra produksi cabe besar, sawi, dan bawang merah di DIY. Pada tahun 2015 andil Kulonprogo terhadap produksi ketiga jenis sayuran tersebut di DIY masing-masing adalah 71,95 persen, 48,02 persen, dan 45,37 persen. Sedangkan Kabupaten Sleman merupakan produsen utama untuk komoditas jamur, cabe rawit, dan sawi. Kontribusi Sleman terhadap produksi ketiga jenis sayuran tersebut di DIY pada tahun 2015 masing-masing adalah 96,26 persen, 66,11 persen, dan 44,24 persen. Sleman juga merupakan penyumbang ke dua terbesar untuk produksi cabe besar setelah Kulonprogo, meskipun kontribusinya tidak terlalu besar yaitu sekitar 19 persen. Di sisi lain, Kabupaten Bantul merupakan daerah penyumbang utama produksi bawang merah di DIY. Kontribusi Bantul terhadap produksi bawang merah tahun 2015 sekitar 51 persen.
Komoditas buah-buahan yang cukup potensial di DIY adalah mangga, melon, nangka, pisang, rambutan, salak, dan semangka. Seperti halnya komoditas sayuran, produksi buah-buahan juga menunjukkan tren yang sama dengan Kabupaten Sleman dan Kulonprogo sebagai sentra produksi untuk beberapa komoditas buah-buahan unggulan di DIY. Kabupaten Sleman merupakan sentra produksi salak, rambutan, nangka, dan mangga. Produksi salak di DIY pada tahun 2015 tercatat sebesar 73,28 ribu ton dan 97,85 persen diantaranya berasal dari Kabupaten Sleman. Sementara kontribusi produksi rambutan, nangka, dan mangga di Sleman terhadap total produksi di DIY masing-masing adalah 70,37 persen, 64,99 persen, dan 40,48 persen dangan volume produksi masing-masing sebesar 5.079 ton, 18.445 ton, dan 14.871 ton. Sedangkan Kabupaten Kulonprogo merupakan sentra produksi melon, semangka, dan pisang. Produksi ketiga jenis komoditas buah-buahan pada tahun 2015 masing-masing sebesar 20.696 ton, 8.296 ton, dan 20.410 ton dengan kontribusi masing-masing sebesar 77,26 persen, 90,80 persen, dan 39,85 persen.
Tanaman biofarmaka dapat manfaatkan untuk konsumsi dan obat-obatan. Selain itu tanaman biofarmaka biasanya juga digunakan sebagai bahan untuk membuat kosmetik dan produk kecantikan lainnya. Bbeberapa jenis tanaman biofarmaka yang banyak dibudidayakan di DIY antara lain jahe, lengkuas, kencur, kunyit, temu lawak, kapulaga, dan mahkota dewa. Beberapa komoditas biofarmaka yang mempunyai tren peningkatan produksi selama periode 2013-2015 adalah jahe, kapulaga, kencur, dan mahkota dewa. Pada tahun 2013 produksi komoditas tersebut tercatat 2.775 ton (jahe), 1.301 ton (kapulaga), 1.827 ton (kencur) dan 1.634 ton (mahkota dewa). Kemudian pada tahun 2015 terjadi peningkatan produksi masing-masing menjadi 4.617 ton (jahe), 3.190 ton (kapulaga), 2.097 ton (kencur) dan 1.967 ton (mahkota dewa). Sedangkan komoditas lainnya cenderung mengalami penurunan produksi.
Sentra produksi tanaman biofarmaka adalah Kabupaten Kulonprogo. Produksi tanaman biofarmaka di wilayah ini pada tahun 2015 adalah sebesar 3.095 ton (jahe), 3.183 ton (kapulaga), 2.818 ton (kunyit), 1.938 ton (kencur), 1.524 ton (mahkota dewa), 1.408 ton (temulawak), dan 1.062 ton (lengkuas), dengan kontribusi masing-masing komoditas terhadap total produksi di DIY adalah sebesar 67,03 persen (jahe), 99,79 persen (kapulaga), 93,51 persen (kunyit), 92,39 persen (kencur), 77,48 persen (mahkota dewa), 85,22 persen (temulawak), dan 85,26 persen (lengkuas).
E.     Perkebunan
Usaha tanaman perkebunan di DIY sebagian besar merupakan usaha perkebunan rakyat. Beberapa jenis tanaman perkebunan yang cukup banyak dibudidayakan di DIY antara lain kelapa, cengkeh, kopi, jambu mete, coklat/kakao, tembakau dan tebu. Kelapa merupakan komoditas perkebunan yang paling dominan di DIY. Produksi kelapa selama periode 2013-2015 terus mengalami penurunan, dari 55,75 ribu ton pada tahun 2013 menjadi 53,47 ribu ton (2014) dan 50,38 ribu ton (2015). Dari sisi luas panen cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2013 luas panen kelapa tercatat 34,21 ribu hektar, kemudian turun menjadi 32,83 ribu hektar, dan meningkat lagi menjadi 34,57 ribu hektar pada tahun 2015. Dengan demikian, penurunan produksi tersebut disebabkan oleh faktor penurunan luas panen (2014) dan produktivitas (2015). Kabupaten Kulonprogo merupakan sentra produksi kelapa di DIY. Pada tahun 2015, sekitar 56,87 persen produksi kelapa DIY berasal dari Kulonprogo. Sementara Bantul, Sleman, dan Gunungkidul memberikan kontribusi masing-masing sebesar 17,76 persen, 15,18 persen, dan 10,20 persen.
Tanaman tebu sebagian diusahakan oleh rakyat dan sebagian lagi diusahakan oleh perusahaan. Produksi tebu selama periode 2013- 2015 berfluktuasi namun cenderung menurun. Pada tahun 2015 produksinya sebesar 12,71 ribu ton, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 9,89 ribu ton. Namun masih lebih rendah dibandingkan dengan produksi tahun 2013 yang mencapai 15,96 ribu ton. Dari sisi luas panen terus mengalami penurunan, dari 3.604 hektar (2013) menjadi 3.332 hektar (2014), dan 3.280 hektar (2015). Sedangkan produktivitasnya berfluktuasi. Bantul merupakan penyumbang terbesar pada tahun 2015 dengan kontribusi sebesar 39,66 persen. Wlayah lain yang memberikan andil cukup besar Sleman dan Kulonprogo dengan kontribusi masing-masing 30,43 persen dan 27,40 persen, dan hanya sebagian kecil saja yang diproduksi di Gunungkidul.
Komoditas tebu merupakan komoditas yang cukup strategis, mengingat tingkat konsumsi gula cukup tinggi. Selama ini kebutuhan gula belum bisa dipenuhi dari produksi domestik, sehingga impor gula masih cukup tinggi. Kendala yang dihadapi antara lain keterbatasan lahan karena kompetisi penggunaan lahan pertanian untuk berbagai jenis komoditas pertanian. Sebagai produsen, petani akan berfikir secara rasional untuk mengusahakan suatu jenis komoditas tertentu. Selain itu, pasar untuk produk tebu bersifat monopsoni sehingga secara keseluruhan bargaining power petani relatif lemah dalam penentuan harga produk. Jika tidak ada campur tangan pemerintah maka petani tebu akan semakin tersudut dan animo masyarakat untuk menanam tebu akan berkurang.
Produksi tembakau di DIY tercatat 1.453 ton pada tahun 2015. Sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 1.544 ton, namun lebih tinggi dibandingkan produksi tahun 2013 yang tercatat 560 ton. Berdasarkan luas panennya terlihat adanya kenaikan dari tahun ke tahun, sedangkan produktivitasnya berfluktuasi walaupun cenderung meningkat. Faktor cuaca, adanya serangan organisme penggannggu tanaman, serta varietas yang digunakan sangat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas tanaman. Kabupaten Sleman merupakan sentra produksi tembakau di DIY. Pada tahun 2015 produksinya mencapai 757,5 ton atau sekitar 52,14 persen dari total produksi tembakau di DIY. Sementara Bantul dan Gunungkidul memberikan kontribusi masing-masing sebesar 24,89 persen dan 22,88 persen.
Beberapa komoditas perkebunan lainnya yang produksinya cenderung meningkat adalah jambu mete dan coklat. Produksi jambu mete dan coklat pada tahun 2013 masing-masing adalah 261 ton dan 1.124 ton dan pada tahun 2015 produksinya meningkat masing-masing menjadi 447 ton dan 1.632 ton. Luas panen jambu mete cenderung menurun, namun sebaliknya untuk komoditas coklat luas panennya cenderung meningkat. Sentra produksi jambu mete adalah Kabupaten Gunungkidul dengan kontribusi sekitar 93,44 persen pada tahun 2015. Sementara sentra produksi coklat adalah Kabupaten Kulonprogo dengan kontribusi sekitar 70,22 persen pada tahun 2015.
Untuk komoditas kopi, produksinya cenderung menurun. Pada tahun 2013 produksi kopi di DIY mencapai 736 ton, kemudian menurun menjadi 402 ton pada tahun 2015 atau mengalami penurunan rata-rata 26,11 persen per tahun. Penurunan produksi kopi disebabkan oleh penurunan luas panen dan produktivitas. Hal ini bisa menggambarkan bahwa animo masyarakat untuk melakukan budidaya kopi di DIY semakin menurun. Sentra produksi kopi adalah Kabupaten Kulonprogo, sengan kontribusinya sebesar 91,21 persen pada tahun 2015.
F.      Kehutanan
Hutan merupakan sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Luas hutan di DIY pada tahun 2015 mencapai 95.397,31 hektar atau sekitar 30 persen dari luas wilayah DIY. Sebagian besar kawasan hutan di DIY merupakan hutan rakyat yaitu seluas 76.680,48 hektar atau mencakup sekitar 80 persen dari total kawasan hutan di DIY, dan sisanya 18.715,06 hektar (20 persen) merupakan hutan negara. Hutan rakyat adalah hutan-hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat, kebanyakan berada di atas tanah milik atau tanah adat. Hitan rakyat ditanami dengan berbagai jenis tanaman hutan, ada yang dikombinasikan dengan tanaman semusim. Sedangkan hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004).
Luas hutan rakyat selama periode 2013-2015 cenderung mengalami kenaikan dari 75.120,3 hektar (2013) menjadi 76.680,48 hektar (2015). Kenaikan ini terjadi di semua kabupaten dan yang paling tinggi di Kabupaten Gunungkidul yaitu seluas 616,03 hektar. Kemudian diikuti oleh Kabupaten Kulonprogo dan Sleman masing-masing seluas 581,72 hektar dan 337,42 hektar. Sementara di Kabupaten Bantul hanya bertambah 25 hektar.
Apabila dilihat berdasarkan wilayah, sebagian besar kawasan hutan rakyat pada tahun 2015 berada di Kabupaten Gunungkidul. Sekitar 56 persen dari total luas hutan rakyat di DIY berada di wilayah ini atau seluas 42.570 hektar. Gunungkidul dikenal sebagai wilayah berbasis hutan, baik hutan rakyat maupun hutan negara. Sementara kawasan hutan rakyat di Kulonprogo mencapai 20.759,4 hektar (27 persen). Dengan topografi yang berbukit, keberadaan hutan di kedua wilayah tersebut akan membantu menjaga ekosistem dan kelestarian alam. Di Kabupaten Bantul dan Sleman luasan hutan rakyat masing-masing tercatat 8.595 hektar (11 persen) dan 4.756 hektar (6 hektar).
Keberadaan kawasan hutan dapat mengatasi persoalan lahan kritis banyak ditemui di wilayah Gunungkidul. Hal ini akan berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan areal hutan di wilayah ini memberikan dampak yang positif terhadap ekosistem dengan peran hutan sebagai penjaga fungsi hidroorologis. Keberadaan hutan di wilayah ini dapat menurunkan luasan lahan kritis. Pada tahun 2013 luas lahan kritis di Gunungkidul tercatat 13.673,62 hektar (http://bappeda.jogjaprov. go.id/jogja_masa_depan/detail/Pembangunan- Kehutanan-DIY, 2016). Seiring dengan kenaikan luas wilayah hutan, terutama hutan rakyat, luasan lahan kritis mengalami penurunan dan pada tahun 2015 tercatat sekitar 8.012,04 hektar (Badan Lingkungan Hidup DIY, 2016). Penurunan luasan lahan kritis diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di wilayah ini.
Berbeda dengan luasan hutan rakyat yang cenderung berubah, luas hutan negara di DIY tidak mengalami perubahan selama beberapa tahun terakhir. Berdasarkan tata guna hutan, pada tahun 2015 sebagian besar kawasan hutan negara merupakan hutan produksi yaitu seluas 13.411,7 hektar (71,66 persen), kemudian disusul hutan konservasi seluas 2.312,8 hektar (15,98 persen), dan sisanya merupakan hutan lindung. Hutan Produksi berfungsi sebagai penghasil kayu atau non kayu, seperti hasil industri kayu dan obat-obatan.
Lokasi hutan negara terluas berada di Kabupaten Gunungkidul, yaitu sekitar 14.895.5 hektar atau 79,59 persen dari total luas hutan di DIY. Wilayah Gunungkidul merupakan basis wilayah hutan di DIY. Sekitar 86 persen dari hutan di Gunungkidul merupakan hutan produksi. Sisanya merupakan hutan konservasi seluas 1.068,7 hektar (7,17 persen) dan hutan lindung seluas 1.016,7 hektar (6,83 persen).
Luas hutan negara di Kabupaten Sleman mencapai 1.729,5 atau sekitar 9,24 persen dari total luas kawasan hutan negara di DIY. Kawasan hutan negara di wilayah ini semuanya merupakan hutan konservasi. Sementara untuk wilayah Bantul dan Kulonprogo luas hutan negara masing-masing sebesar 1.052,6 hektar (5,62 persen) dan 1.037,5 (5,54 persen). Kawasan hutan negara di Bantul didominasi oleh kawasan hutan lindung yang mencapai 98,92 persen dari luas hutan negara di wilayah tersebut. Sedangan di Kabupaten Kulonprogo didominasi oleh hutan produksi yang mencapai 57,99 persen dari total luas hutan negara di wilayah tersebut. Proporsi luas hutan lindung dan hutan konservasi masing-masing sebesar 24,57 persen dan 17,45 persen.
Hutan produksi di wilayah DIY dikelola oleh Balai KPH Yogyakarta (UPTD Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY). Potensi hutan produksi (13.411,7 hektar) didominasi oleh tanaman jati (50,79 persen) dan tanaman kayu putih (34,32 persen). Nilai penjualan hasil hutan terus mengalami kenaikan selama periode 2013-2015. Penjualan produk kehutanan terdiri dari kayu pertukangan, kayu bakar, dan minyak kayu putih. Pada tahun 2013 total nilai penjualan hasil hutan tercatat Rp. 7,59 miliar. Pada tahun 2014 dan 2015 nilainya meningkat menjadi Rp. 7,83 miliar dan Rp. 8,61 miliar. Penjualan hasil hutan didominasi oleh hasil penjualan minyak kayu putih yang nilainya mencapai 97 persen dari total penjualan hasil hutan di DIY.
Di sisi lain, produksi kayu bulat dari hutan rakyat mengalami fluktuasi meskipun menunjukkan tren yang meningkat. Pada tahun 2013 produksi kayu bulat tercatat sebanyak 73.395 m3, kemudian meningkat menjadi 113.930 m3 pada tahun 2014. Namun tahun 2015 mengalami penurunan menjadi 109.609 m3. Fluktuasi produksi tersebut terutama akibat adanya fluktuasi produksi di Kabupaten Gunungkidul, sedangkan di kabupaten lain menunjukkan adanya tren kenaikan dari tahun ke tahun. Selama 3 tahun terakhir, produksi kayu bulat di Gunungkidul memberikan kontribusi sekitar 37,1 persen dari produksi kayu bulat di DIY yang berasal dari hutan rakyat. Angka ini menempati urutan ke-2 setelah Kabupaten Kulonprogo yang memberikan kontribusi sekitar 45,7 persen. Sementara Sleman dan Bantul memberikan kontribusi masing-masing sebesar 13,2 persen dan 3,9 persen. Jenis kayu yang banyak diusahakan oleh masyarakat adalah jati, rimba, mahoni, sono, dan akasia.
Produksi hutan rakyat selain kayu adalah bambu. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY, pada tahun 2015 produksi bambu di DIY tercatat 5.814 ribu batang. Sentra produksi bambu adalah Kabupaten Sleman dengan jumlah produksi sebanyak 3.958 ribu batang (68,08 persen). Daerah lain yang memberikan kontribusi cukup besar adalah Kabupaten Bantul dengan jumlah produksi sebanyak 1.154 ribu batang (19,85 persen), kemudian diikuti oleh Gunungkidul sebanyak 695 ribu batang (11,96 persen) dan sisanya dari Kulonprogo.
G.    Peternakan
Pembangunan subsektor peternakan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan hewani, seperti daging, telur, dan susu yang bernilai gizi tinggi. Daging, telur, dan susu merupakan sumber protein hewani yang sangat dibutuhkan untuk proses perkembangan tubuh manusia. Protein hewani dari daging dapat meningkatkan dan mempercepat penyerapan besi heme yang merupakan pembentuk hemoglobin. Protein hewani juga sebagai sumber dari zat besi heme pembentuk hemoglobin. Kebijakan di sub sektor peternakan diarahkan untuk membangun dan mengembangkan usaha peternakan agar mampu meningkatan produksi dengan kualitas yang baik dan harga terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan peternak, serta memperluas kesempatan kerja. Dengan demikian usaha peternakan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ekonomi wilayah.
Ternak besar yang paling banyak diusahakan di DIY adalah sapi potong. Populasi ternak sapi potong pada akhir tahun 2015 tercatat 306,7 ribu ekor, sedikit meningkat dibanding tahun sebelumnya yang tercatat 302 ribu ekor. Sebagian besar ternak sapi potong berada di Kabupaten Gunungkidul, yaitu sekitar 148,6 ribu ekor (48,45 persen). Jumlah pemotongan ternak sapi potong pada tahun 2015 sebanyak 40,4 ribu ekor atau sekitar 13,2 persen. Untuk ternak besar yang lain populasinya kurang dari 5 ribu ekor. Sentra usaha ternak sapi perah adalah Kabupaten Sleman, dengan populasi ternak sekitar 93 persen dari total sapi perah di DIY. Kondisi lingkungan di Sleman cukup kondusif untuk pengembangan ternak sapi perah, terutama wilayah di kaki Gunung Merapi. Populasi kerbau sebagian besar berada di Kabupaten Sleman dan Bantul. Sementara ternak kuda lebih banyak ditemukan di Kabupaten Bantul.
Jenis ternak kecil yang banyak diusahakan di DIY adalah kambing dan domba. Kedua jenis ternak tersebut populasinya cenderung meningkat selama periode 2013-2015. Pada tahun 2013 populasi kambing dan domba di DIY masing-masing tercatat 369,7 ribu ekor dan 156,9 ribu ekor. Tahun 2015 populasinya meningkat menjadi 400 ribu ekor dan 177,6 ribu ekor. Ternak kambing sebagian besar berada di Kabupaten Bantul dan Gunungkidul. Kabupaten Bantul juga merupakan sentra ternak domba. Tingkat pemotongan ternak juga mengalami kenaikan, baik untuk ternak kambing maupun domba. Pada tahun 2013 tercatat ada 117,8 ribu ekor kambing dan 171,5 ribu ekor domba yang dipotong. Kemudian pada tahun 2015 jumlahnya meningkat menjadi 173,6 ribu ekor kambing dan 459,9 ribu ekor domba.
H.    Perikanan
DIY memiiliki bagian wilayah yang berbatasan langsung dengan lautan dan dilalui oleh beberapa sungai besar, sehingga memiliki potensi untuk pengembangan usaha perikanan. Pengembangan sub sektor perikanan diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah sehingga potensi yang ada dapat meningkatkan perekonomian wilayah dan kesejahteraan masyarakat. Sub sektor perikanan meliputi perikanan darat dan perikanan laut. Produksi ikan darat di DIY pada tahun 2015 mencapai 69,17 ribu ton, meningkat sekitar 16 persen dari tahun sebelumnya yang tercatat 59,50 ribu ton. Kabupaten Sleman merupakan penghasil ikan darat terbesar d DIY. Sekitar 53 persen produksi ikan darat tahun DIY berasal dari Sleman. Kondisi lingkungan di wilayah ini cukup mendukung untuk usaha perikanan darat karena mempunyai sumber air yang cukup melimpah. Pengembangan budidaya perikanan dan pembinaan petani ikan dengan sistem kelompok turut mendukung usaha perikanan di Sleman. Dengan sistem tersebut, transfer pengetahunan dan transfer teknologi diharapkan dapat dilakukan lebih efektif dan efisien. Selain Sleman, Kabupaten Kulonprogo juga mempunyai kontribusi yang cukup besar, yaitu sekitar 20 persen dari total produksi ikan darat di DIY pada tahun 2015. Di sisi lain, Kota Yogyakarta memberikan andil yang sangat kecil, bahkan kurang dari 1 persen. Dengan luas lahan yang terbatas dan kepadatan penduduk yang tinggi, tidak memungkinkan untuk mendorong pengembangan usaha pertanian termasuk perikanan di wilayah ini.
Pengembangan usaha budidaya ikan di DIY sebagian besar dilakukan di kolam. Produksi ikan dari hasil budidaya yang dilakukan di kolam memberikan kontribusi sekitar 94,93 persen dari total produksi ikan darat di DIY tahun 2015. Produksi ikan hasil budidaya di kolam sebagian besar berasal dari Kabupaten Sleman, yaitu sekitar 55 persen. Sementara untuk produksi ikan hasil budidaya di tambak hanya sekitar 4,69 persen, dan sisanya merupakan hasil budidaya di karamba, jaring apung, sawah (mina-padi), dan telaga. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa usaha budidaya ikan di tambak belum berkembang di Provinsi DIY. Produksi ikan hasil budidaya di tambak berasal dari wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan lautan yaitu Kabupaten Kulonprogo (79,57 persen), Kabupaten Bantul (20,05 persen) dan Kabupaten Gunungkidul (0,37 persen).
Produksi ikan laut di DIY merupakan hasil penangkapan. Selama periode 2012-2014 produksi ikan laut DIY mengalami peningkatan yang cukup tajam. Pada tahun 2012 produksi ikan laut tercatat sebesar 2,57 ribu ton, kemudian meningkat tajam menjadi 2,72 ribu ton pada tahun 2013 atau meningkat sekitar 96,54 persen. Pada tahun 2014 produksinya kembali meningkat sekitar 6,03 persen mejadi menjadi 5,35 ribu ton. Dengan demikian, selama 2 tahun terjadi peningkatan produksi ikan laut rata-rata 44,36 persen per tahun. Jenis ikan laut yang banyak ditangkap oleh nelayan dari perairan laut selatan antara lain tengiri, tongkol, layang, manyung, dan layur. Kenaikan produksi ikan laut pada tahun 2014 terutama dari hasil penangkapan ubur-ubur (jelly fish) di wilayah Gunungkidul. Produksi ikan laut DIY terutama berasal dari Kabupaten Gunungkidul. Hasil penangkapan ikan laut di wilayah ini memberikan kontribusi sekitar 83,29 persen pada tahun 2014.
Produksi ikan laut sangat dipengaruhi oleh faktor iklim dan cuaca. Kondisi cuaca yang kurang mendukung seperti gelombang laut yang tinggi di samudera Hindia menyebabkan banyak nelayan yang tidak berani melaut sehingga berdampak terhadap penurunan produksi ikan laut. Sarana dan prasarana penangkapan ikan juga turut mempengaruhi tingkat produksi ikan laut.
I.       Nilai Tukar Petani
Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di pedesaan. Penghitungan indikator ini diperoleh dari perbandingan antara Indeks Harga Yang Diterima Petani (IT) dengan Indeks Harga Yang Dibayar Petani (IB) yang dinyatakan dalam persentase. NTP juga menunjukkan daya tukar (term of trade) antara produk pertanian yang dijual petani dengan barang dan jasa yang dibutuhkan petani dalam berproduksi dan konsumsi rumah tangga. Dengan membandingkan kedua perkembangan angka tersebut, maka dapat diketahui apakah peningkatan pengeluaran untuk kebutuhan petani dapat dikompensasi dengan pertambahan pendapatan petani dari hasil pertaniannya. Semakin tinggi nilai NTP, maka kemampuan atau daya beli petani secara relatif semakin meningkat.
Berdasarkan hasil pengamatan harga-harga pedesaan di wilayah DIY, rata-rata NTP tahun 2015 mengalami penurunan indeks sebesar 1,07 persen dibandingkan dengan tahun 2014, yaitu dari 102,24 menjadi 101,15. Penurunan NTP tahun 2015 disebabkan oleh indeks harga yang dibayar petani meningkat lebih ditinggi dibandingkan dengan kenaikan indeks harga yang diterima petani. Penurunan NTP ini terutama disebabkan oleh penurunan NTP di subsektor peternakan sebesar 4,31 persen dan subsektor perkebunan sebesar 0,99 persen. Kenaikan NTP subsektor yang lain tidak mampu menutupi penurunan pada kedua subsektor tersebut. Namun demikian, dengan nilai NTP di atas 100 menunjukkan bahwa petani masih mengalami surplus. Artinya kenaikan harga produk pertanian masih lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsi dan biaya produksi.
Apabila dirinci menurut subsektor, terlihat bahwa NTP subsektor tanaman pangan dan subsektor hortikultura nilanya selalu di bawah 100. Artinya kenaikan harga-harga produk tanaman pangan dan hortikultura tidak mampu mengimbangi kenaikan harga-harga barang konsumsi dan biaya produksi pada kedua subsektor tersebut, sehingga petani yang mengusahakan tanaman pangan dan hortikultura selalu mengalami defisit. Dengan kata lain, daya saing produk tanaman pangan, dan hortikultura relatif lebih rendah dibandingkan produk lain. NTP subsektor peternakan pada tahun 2014 masih di atas 100, namun pada tahun 2015 terjadi penurunan hingga nilainya kurang dari 100. Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga-harga barang konsumsi dan biaya produksi jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga produk peternakan. Di sisi lain NTP subsektor perkebunan dan subsektor perikanan nilainya selalu di atas 100. Artinya, petani yang mengusahakan produk perkebunan dan perikan selalu mengalami surplus, karena harga produk perkebunan dan perikanan naik lebih besar dibandingkan dengan kenaikan harga konsumsinya. Dengan demikian, produk perkebunana dan perikanan di DIY mempunyai daya saing yang realtif tinggi.
SUMBER
Nama Kelompok 8 : (1EB11)
1.      Bima Indra Sutopo (21216424)
2.      Ismayagita Cipta Rifinaya (23216616)
3.      Riska Erviani (26216474)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar