Pembangunan Ekonomi D.I. Yogyakarta
tugas 2
A.
Pertanian
Pertanian merupakan sektor hulu (primer) yang kegiatannya
berbasis pada sumber daya alam di mana sebagian besar produk akhirnya digunakan
sebagai bahan baku (input) utama di sektor industri pengolahan serta konsumsi
rumah tangga. Kegiatan ini tersebar merata hampir di seluruh wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan keragaman produk-produk unggulan yang dihasilkan
oleh setiap wilayah. Pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama bagi
sebagian besar penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta. Peranan sektor pertanian
dalam penciptaan PDRB DIY selama lima tahun terakhir sekitar 11 persen.
Sementara itu jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian sekitar 26
persen.
B.
Luas
Lahan Pertanian
Lahan merupakan faktor produksi penting dalam proses produksi
pertanian. Pada tahun 2015 luas lahan pertanian di Provinsi D.I. Yogyakarta
mencapai 242,25 ribu hektar atau sekitar 76 persen dari total luas lahan di
DIY. Lahan pertanian tersebut terdiri dari lahan sawah seluas 55,43 ribu hektar
(22,88 persen) dan lahan bukan sawah seluas 186,82 ribu hektar (77,12 persen).
Sleman merupakan kabupaten dengan lahan sawah paling luas, yaitu mencapai 21,91
ribu hektar atau sekitar 40 persen dari total lahan sawah di DIY. Sementara
untuk lahan pertanian bukan sawah sebagian besar terletak di Kabupaten
Gunungkidul yang mencapai 117,44 ribu hektar atau sekitar 63 persen dari total
lahan pertanian bukan sawah di DIY.
Seiring
dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi, terjadi perubahan
penggunaan lahan/alih fungsi lahan. Selama periode 2010 – 2015 terjadi
penyusutan lahan sawah di DIY seluas 1,11 ribu hektar atau rata-rata seluas 223
hektar per tahun. Sedangkan untuk lahan bukan sawah terjadi peningkatan seluas
3,50 ribu hektar selama 5 tahun atau meningkat rata-rata 700 hektar per tahun.
Penyusutan lahan sawah perlu memperoleh perhatian yang serius
dari pemerintah karena menyangkut penyediaan pangan bagi masyarakat. Lahan
sawah merupakan faktor produksi utama dalam proses produksi padi, karena
sebagian besar produksi padi di DIY dilakukan di lahan sawah. Apabila dirinci
menurut kabupaten/kota dan jenis lahan sawah terlihat bahwa laju konversi lahan
sawah di Kabupaten Sleman menempati urutan tertinggi yaitu mencapai 912 hektar
(81,94 persen) selama 5 tahun atau rata-rata 182 hektar lahan sawah di wilayah
ini beralih fungsi. Urutan ke dua adalah Kabupaten Bantul dengan penyusutan
lahan sawah seluas 240 hektar (rata-rata 48 hektar/tahun).
Berdasarkan sistem pengairannya terlihat bahwa selama lima tahun
terakhir telah terjadi penyusutan lahan sawah beririgasi seluas 1.450 hektar.
Dengan demikian, dalam setahun luas lahan sawah yang beirigasi berkurang
sekitar 290 hektar. Hampir di semua kabupaten/kota kecuali Kabupaten Kulonprogo
terjadi penyusutan lahan sawah beririgasi. Penyusutan paling tinggi terjadi di
Kabupaten Sleman, yaitu mencapai 904 hektar atau sekitar 62,34 persen, kemudian
diikuti oleh Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, dan Kota Yogyakarta
dengan luas masing-masing 362 hektar (24,97 persen), 247 hektar (17,03 persen),
dan 23 hektar (1,59 persen). Sedangkan di Kabupaten Kulonprogo terjadi
penambahan lahan sawah beririgasi seluas 86 hektar.
Disi
lain, luas lahan sawah tadah hujan mengalami kenaikan sekitar 337 hektar selama
periode 2010-2015. Kenaikan ini terjadi di Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten
Bantul masing-masing seluas 247 hektar dan 122 hektar. Sedangkan di Kabupaten
Kulonprogo dan Kabupaten Sleman luas lahan sawah tadah hujan mengalami
penyusutan masing-masing 24 hektar dan 8 hektar.
C.
Tanaman Pangan
Tanaman pangan mempunyai peranan yang cukup besar dalam
perekonomian DIY. Kontribusi tanaman pangan terhadap pembentukan PDRB DIY
selama periode 2011-2015 sekitar 4 persen dan terhadap Sektor Pertanian sekitar
36 persen (Gambar 1.). Selain itu, tanaman pangan juga menjadi andalan dalam
menjaga dan meningkatkan ketahan pangan wilayah. Ketersediaan pangan merupakan
masalah yang krusial bagi pemerintah dan masyarakat. Secara turun temurun
padi/beras dan palawija (jagung, kedelai, ubi kayu, dan kacang tanah) merupakan
bahan pangan pokok bagi bangsa Indonesia termasuk DIY. Namun demikian, budaya
mengkonsumsi beras masih mewarnai sebagian besar masyarakat DIY.
Animo masyarakat untuk menanam padi juga masih cukup tinggi. Hal
ini terlihat dari tingginya luas panen dan peningkatan produktivitas tanaman
padi. Selama periode 2013-2015 produksi padi di DIY agak berfluktuasi namun
cenderung meningkat. Pada tahun 2013 produksi padi di DIY mencapai 921,8 ribu
ton, kemudian sedikit menurun pada tahun 2014 menjadi 919,6 ribu ton. Tahun
2015 produksinya meningkat 6,04 persen menjadi 975,1 ribu ton. Peningkatan ini
murni disebabkan oleh peningkatan produktivitas, karena luas panen padi
mengalami penurunan dari 158,9 ribu hektar pada tahun 2014 menjadi 155,8 ribu
hektar pada tahun 2015. Penurunan tersebut terjadi baik pada padi sawah maupun
padi ladang. Penurunan luas panen padi sawah seiring dengan penyusutan luas
baku lahan sawah di DIY. Di sisi lain, produktivitas tanaman padi pada tahun
2015 meningkat 8,13 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari 57,87
kuintal per hektar menjadi 62,57 kuintal per hektar. Peningkatan ini terutama
akibat dari kenaikan produktivitas tanaman padi sawah. Sementara produktivitas
padi ladang relatif stagnan.
Sebagian
besar produksi padi di Provinsi DIY berasal dari lahan sawah dan hanya sebagian
kecil saja yang merupakan padi ladang. Pada tahun 2015 produksi padi sawah
mencapai sekitar 80 persen dari total produksi padi di DIY dan 20 persen
sisanya merupakan padi ladang. Kabupaten Sleman merupakan produsen utama padi
sawah di DIY. Pada tahun 2015 sekitar 43,76 persen produksi padi sawah di DIY
berasal dari Kabupaten Sleman. Kemudian diikuti oleh Kabupaten Bantul,
Kulonprogo, dan Gunungkidul dengan kontribusi masing-masing sebesar 26,57 persen,
16,94 persen, dan 12,62 persen. Sementara itu sentra produksi padi ladang
adalah Kabupaten Gunungkidul dengan kontribusi sekitar 98,49 persen.
Berdasarkan fakta di atas diketahui bahwa Sleman merupakan
penyangga utama penyedia pangan pokok bagi masyarakat DIY. Namun ironisnya,
laju konversi lahan sawah di wilayah tersebut juga menempati posisi tertinggi.
Pesatnya pembangunan komplek perumahan dan bangunan bisnis lainnya merupakan
faktor utama tingginya laju konversi lahan sawah di Kabupaten Sleman.
Perkembangan ekonomi yang cukup tinggi dan lokasi yang cukup strategis
merupakan daya tarik yang cukup potensial bagi investor untuk melakukan
investasi di wilayah ini. Selain Sleman, Bantul juga merupakan sasaran
alternatif bagi pengembang untuk membangun komplek perumahan sehingga laju
konversi lahan sawah di Bantul juga cukup tinggi. Kondisi tersebut disebabkan
oleh kedua wilayah tersebut lokasinya yang cukup strategis, yaitu berada di
sekitar pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi. Hal ini perlu memperoleh
perhatian yang serius dari pemerintah untuk mengendalikan laju konversi lahan
sawah agar ketahanan pangan di wilayah DIY data terjaga. Konversi lahan
pertanian menjadi non-pertanian akan mengurangi potensi produksi pertanian.
D.
Hortikultura
DIY mempunyai berbagai jenis tanaman hortikultura yang bisa
dimanfaatkan untuk konsumsi atau lainnya. Jenis tanaman hortikulturan yang
dicatat perkembangannya adalah tanaman sayuran, buah-buahan, tanaman
biofarmaka, dan tanaman hias. Salah satu ciri khas produk hortikultura adalah
perisabel atau mudah rusak karena segar.
Beberapa
jenis tanaman sayuran yang banyak diproduksi di DIY antara lain bawang merah,
sawi, cabe besar, cabe rawit, dan jamur. Produksi tanaman sayuran selama
periode 2013-2015 cenderung berfluktuasi. Produksi bawang merah pada tahun 2013
tercatat sebesar 9,54 ribu ton, kemudian meningkat menjadi 12,36 ribu ton pada
tahun 2014, dan pada tahun 2015 turun menjadi 8,80 ribu ton. Produksi sawi juga
mengalami pasang surut, dari 6,45 ribu ton (2013), menjadi 5,61 ribu ton
(2014), dan 6,45 ribu ton (2015). Produksi jamur tahun 2013 tercatat 163,65
ribu ton, kemudian turun menjadi 139,63 ribu ton (2014), dan naik lagi menjadi
143,16 ribu ton (2015). Di sisi lain, produksi cabe besar cenderung meningkat
dari 17,13 ribu ton (2013), menjadi 17,76 ribu ton (2014), dan 23,39 ribu ton
(2015). Sedangkan cabe rawit produksinya cenderung stagnan pada level produksi
sekitar 3,2 ribu ton.
Kabupaten Sleman dan Kulonprogo merupakan daerah penghasil
sayuran utama di DIY. Kabupaten Kulonprogo merupakan sentra produksi cabe
besar, sawi, dan bawang merah di DIY. Pada tahun 2015 andil Kulonprogo terhadap
produksi ketiga jenis sayuran tersebut di DIY masing-masing adalah 71,95
persen, 48,02 persen, dan 45,37 persen. Sedangkan Kabupaten Sleman merupakan
produsen utama untuk komoditas jamur, cabe rawit, dan sawi. Kontribusi Sleman
terhadap produksi ketiga jenis sayuran tersebut di DIY pada tahun 2015
masing-masing adalah 96,26 persen, 66,11 persen, dan 44,24 persen. Sleman juga
merupakan penyumbang ke dua terbesar untuk produksi cabe besar setelah
Kulonprogo, meskipun kontribusinya tidak terlalu besar yaitu sekitar 19 persen.
Di sisi lain, Kabupaten Bantul merupakan daerah penyumbang utama produksi
bawang merah di DIY. Kontribusi Bantul terhadap produksi bawang merah tahun
2015 sekitar 51 persen.
Komoditas
buah-buahan yang cukup potensial di DIY adalah mangga, melon, nangka, pisang,
rambutan, salak, dan semangka. Seperti halnya komoditas sayuran, produksi
buah-buahan juga menunjukkan tren yang sama dengan Kabupaten Sleman dan
Kulonprogo sebagai sentra produksi untuk beberapa komoditas buah-buahan
unggulan di DIY. Kabupaten Sleman merupakan sentra produksi salak, rambutan,
nangka, dan mangga. Produksi salak di DIY pada tahun 2015 tercatat sebesar
73,28 ribu ton dan 97,85 persen diantaranya berasal dari Kabupaten Sleman.
Sementara kontribusi produksi rambutan, nangka, dan mangga di Sleman terhadap
total produksi di DIY masing-masing adalah 70,37 persen, 64,99 persen, dan 40,48
persen dangan volume produksi masing-masing sebesar 5.079 ton, 18.445 ton, dan
14.871 ton. Sedangkan Kabupaten Kulonprogo merupakan sentra produksi melon,
semangka, dan pisang. Produksi ketiga jenis komoditas buah-buahan pada tahun 2015 masing-masing sebesar
20.696 ton, 8.296 ton, dan 20.410 ton dengan kontribusi masing-masing sebesar
77,26 persen, 90,80 persen, dan 39,85 persen.
Tanaman biofarmaka dapat manfaatkan untuk konsumsi dan
obat-obatan. Selain itu tanaman biofarmaka biasanya juga digunakan sebagai
bahan untuk membuat kosmetik dan produk kecantikan lainnya. Bbeberapa jenis
tanaman biofarmaka yang banyak dibudidayakan di DIY antara lain jahe, lengkuas,
kencur, kunyit, temu lawak, kapulaga, dan mahkota dewa. Beberapa komoditas
biofarmaka yang mempunyai tren peningkatan produksi selama periode 2013-2015
adalah jahe, kapulaga, kencur, dan mahkota dewa. Pada tahun 2013 produksi
komoditas tersebut tercatat 2.775 ton (jahe), 1.301 ton (kapulaga), 1.827 ton
(kencur) dan 1.634 ton (mahkota dewa). Kemudian pada tahun 2015 terjadi
peningkatan produksi masing-masing menjadi 4.617 ton (jahe), 3.190 ton
(kapulaga), 2.097 ton (kencur) dan 1.967 ton (mahkota dewa). Sedangkan
komoditas lainnya cenderung mengalami penurunan produksi.
Sentra produksi tanaman biofarmaka adalah Kabupaten Kulonprogo.
Produksi tanaman biofarmaka di wilayah ini pada tahun 2015 adalah sebesar 3.095
ton (jahe), 3.183 ton (kapulaga), 2.818 ton (kunyit), 1.938 ton (kencur), 1.524
ton (mahkota dewa), 1.408 ton (temulawak), dan 1.062 ton (lengkuas), dengan
kontribusi masing-masing komoditas terhadap total produksi di DIY adalah
sebesar 67,03 persen (jahe), 99,79 persen (kapulaga), 93,51 persen (kunyit),
92,39 persen (kencur), 77,48 persen (mahkota dewa), 85,22 persen (temulawak),
dan 85,26 persen (lengkuas).
E.
Perkebunan
Usaha
tanaman perkebunan di DIY sebagian besar merupakan usaha perkebunan rakyat.
Beberapa jenis tanaman perkebunan yang cukup banyak dibudidayakan di DIY antara
lain kelapa, cengkeh, kopi, jambu mete, coklat/kakao, tembakau dan tebu. Kelapa
merupakan komoditas perkebunan yang paling dominan di DIY. Produksi kelapa
selama periode 2013-2015 terus mengalami penurunan, dari
55,75 ribu ton pada tahun 2013 menjadi 53,47 ribu ton (2014) dan 50,38 ribu ton
(2015). Dari sisi luas panen cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2013 luas panen
kelapa tercatat 34,21 ribu hektar, kemudian turun menjadi 32,83 ribu hektar,
dan meningkat lagi menjadi 34,57 ribu hektar pada tahun 2015. Dengan demikian,
penurunan produksi tersebut disebabkan oleh faktor penurunan luas panen (2014)
dan produktivitas (2015). Kabupaten Kulonprogo merupakan sentra produksi kelapa
di DIY. Pada tahun 2015, sekitar 56,87 persen produksi kelapa DIY berasal dari
Kulonprogo. Sementara Bantul, Sleman, dan Gunungkidul memberikan kontribusi
masing-masing sebesar 17,76 persen, 15,18 persen, dan 10,20 persen.
Tanaman tebu sebagian diusahakan oleh rakyat dan sebagian lagi
diusahakan oleh perusahaan. Produksi tebu selama periode 2013- 2015
berfluktuasi namun cenderung menurun. Pada tahun 2015 produksinya sebesar 12,71
ribu ton, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 9,89 ribu
ton. Namun masih lebih rendah dibandingkan dengan produksi tahun 2013 yang
mencapai 15,96 ribu ton. Dari sisi luas panen terus mengalami penurunan, dari
3.604 hektar (2013) menjadi 3.332 hektar (2014), dan 3.280 hektar (2015).
Sedangkan produktivitasnya berfluktuasi. Bantul merupakan penyumbang terbesar
pada tahun 2015 dengan kontribusi sebesar 39,66 persen. Wlayah lain yang
memberikan andil cukup besar Sleman dan Kulonprogo dengan kontribusi
masing-masing 30,43 persen dan 27,40 persen, dan hanya sebagian kecil saja yang
diproduksi di Gunungkidul.
Komoditas
tebu merupakan komoditas yang cukup strategis, mengingat tingkat konsumsi gula
cukup tinggi. Selama ini kebutuhan gula belum bisa dipenuhi dari produksi
domestik, sehingga impor gula masih cukup tinggi. Kendala yang dihadapi antara
lain keterbatasan lahan karena kompetisi penggunaan lahan pertanian untuk
berbagai jenis komoditas pertanian. Sebagai produsen, petani akan berfikir
secara rasional untuk mengusahakan suatu jenis komoditas tertentu. Selain itu,
pasar untuk produk tebu bersifat monopsoni sehingga secara keseluruhan bargaining power petani relatif lemah dalam
penentuan harga produk. Jika tidak ada campur tangan pemerintah maka petani
tebu akan semakin tersudut dan animo masyarakat untuk menanam tebu akan
berkurang.
Produksi tembakau di DIY tercatat 1.453 ton pada tahun 2015.
Sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 1.544 ton,
namun lebih tinggi dibandingkan produksi tahun 2013 yang tercatat 560 ton.
Berdasarkan luas panennya terlihat adanya kenaikan dari tahun ke tahun,
sedangkan produktivitasnya berfluktuasi walaupun cenderung meningkat. Faktor
cuaca, adanya serangan organisme penggannggu tanaman, serta varietas yang
digunakan sangat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas tanaman. Kabupaten
Sleman merupakan sentra produksi tembakau di DIY. Pada tahun 2015 produksinya
mencapai 757,5 ton atau sekitar 52,14 persen dari total produksi tembakau di
DIY. Sementara Bantul dan Gunungkidul memberikan kontribusi masing-masing
sebesar 24,89 persen dan 22,88 persen.
Beberapa komoditas perkebunan lainnya yang produksinya cenderung
meningkat adalah jambu mete dan coklat. Produksi jambu mete dan coklat pada
tahun 2013 masing-masing adalah 261 ton dan 1.124 ton dan pada tahun 2015
produksinya meningkat masing-masing menjadi 447 ton dan 1.632 ton. Luas panen
jambu mete cenderung menurun, namun sebaliknya untuk komoditas coklat luas
panennya cenderung meningkat. Sentra produksi jambu mete adalah Kabupaten
Gunungkidul dengan kontribusi sekitar 93,44 persen pada tahun 2015. Sementara
sentra produksi coklat adalah Kabupaten Kulonprogo dengan kontribusi sekitar
70,22 persen pada tahun 2015.
Untuk
komoditas kopi, produksinya cenderung menurun. Pada tahun 2013 produksi kopi di
DIY mencapai 736 ton, kemudian menurun menjadi 402 ton pada tahun 2015 atau
mengalami penurunan rata-rata 26,11 persen per tahun. Penurunan produksi kopi
disebabkan oleh penurunan luas panen dan produktivitas. Hal ini bisa
menggambarkan bahwa animo masyarakat untuk melakukan budidaya kopi di DIY semakin menurun. Sentra produksi
kopi adalah Kabupaten Kulonprogo, sengan kontribusinya sebesar 91,21 persen
pada tahun 2015.
F.
Kehutanan
Hutan merupakan sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh
pepohonan dan tumbuhan lainnya. Luas hutan di DIY pada tahun 2015 mencapai
95.397,31 hektar atau sekitar 30 persen dari luas wilayah DIY. Sebagian besar
kawasan hutan di DIY merupakan hutan rakyat yaitu seluas 76.680,48 hektar atau
mencakup sekitar 80 persen dari total kawasan hutan di DIY, dan sisanya
18.715,06 hektar (20 persen) merupakan hutan negara. Hutan rakyat adalah
hutan-hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat, kebanyakan berada di atas
tanah milik atau tanah adat. Hitan rakyat ditanami dengan berbagai jenis
tanaman hutan, ada yang dikombinasikan dengan tanaman semusim. Sedangkan hutan
negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah
(Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004).
Luas hutan rakyat selama periode 2013-2015 cenderung mengalami
kenaikan dari 75.120,3 hektar (2013) menjadi 76.680,48 hektar (2015). Kenaikan
ini terjadi di semua kabupaten dan yang paling tinggi di Kabupaten Gunungkidul
yaitu seluas 616,03 hektar. Kemudian diikuti oleh Kabupaten Kulonprogo dan
Sleman masing-masing seluas 581,72 hektar dan 337,42 hektar. Sementara di
Kabupaten Bantul hanya bertambah 25 hektar.
Apabila
dilihat berdasarkan wilayah, sebagian besar kawasan hutan rakyat pada tahun
2015 berada di Kabupaten Gunungkidul. Sekitar 56 persen dari total luas hutan
rakyat di DIY berada di wilayah ini atau seluas 42.570 hektar. Gunungkidul
dikenal sebagai wilayah berbasis hutan, baik hutan rakyat maupun hutan negara.
Sementara kawasan hutan rakyat di Kulonprogo mencapai 20.759,4 hektar (27
persen). Dengan topografi yang berbukit, keberadaan hutan di kedua wilayah
tersebut akan membantu menjaga ekosistem dan kelestarian alam. Di Kabupaten Bantul dan Sleman luasan hutan rakyat
masing-masing tercatat 8.595 hektar (11 persen) dan 4.756 hektar (6 hektar).
Keberadaan kawasan hutan dapat mengatasi persoalan lahan kritis
banyak ditemui di wilayah Gunungkidul. Hal ini akan berimplikasi terhadap
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan areal hutan di
wilayah ini memberikan dampak yang positif terhadap ekosistem dengan peran
hutan sebagai penjaga fungsi hidroorologis. Keberadaan hutan di wilayah ini
dapat menurunkan luasan lahan kritis. Pada tahun 2013 luas lahan kritis di
Gunungkidul tercatat 13.673,62 hektar (http://bappeda.jogjaprov.
go.id/jogja_masa_depan/detail/Pembangunan- Kehutanan-DIY, 2016).
Seiring dengan kenaikan luas wilayah hutan, terutama hutan rakyat, luasan lahan
kritis mengalami penurunan dan pada tahun 2015 tercatat sekitar 8.012,04 hektar
(Badan Lingkungan Hidup DIY, 2016). Penurunan luasan lahan kritis diharapkan
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di wilayah
ini.
Berbeda dengan luasan hutan rakyat yang cenderung berubah, luas
hutan negara di DIY tidak mengalami perubahan selama beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan tata guna hutan, pada tahun 2015 sebagian besar kawasan hutan negara
merupakan hutan produksi yaitu seluas 13.411,7 hektar (71,66 persen), kemudian
disusul hutan konservasi seluas 2.312,8 hektar (15,98 persen), dan sisanya
merupakan hutan lindung. Hutan Produksi berfungsi sebagai penghasil kayu atau
non kayu, seperti hasil industri kayu dan obat-obatan.
Lokasi hutan negara terluas berada di Kabupaten Gunungkidul,
yaitu sekitar 14.895.5 hektar atau 79,59 persen dari total luas hutan di DIY.
Wilayah Gunungkidul merupakan basis wilayah hutan di DIY. Sekitar 86 persen
dari hutan di Gunungkidul merupakan hutan produksi. Sisanya merupakan hutan
konservasi seluas 1.068,7 hektar (7,17 persen) dan hutan lindung seluas 1.016,7
hektar (6,83 persen).
Luas
hutan negara di Kabupaten Sleman mencapai 1.729,5 atau sekitar 9,24 persen dari total luas
kawasan hutan negara di DIY. Kawasan hutan negara di wilayah ini semuanya
merupakan hutan konservasi. Sementara untuk wilayah Bantul dan Kulonprogo luas
hutan negara masing-masing sebesar 1.052,6 hektar (5,62 persen) dan 1.037,5
(5,54 persen). Kawasan hutan negara di Bantul didominasi oleh kawasan hutan
lindung yang mencapai 98,92 persen dari luas hutan negara di wilayah tersebut.
Sedangan di Kabupaten Kulonprogo didominasi oleh hutan produksi yang mencapai
57,99 persen dari total luas hutan negara di wilayah tersebut. Proporsi luas
hutan lindung dan hutan konservasi masing-masing sebesar 24,57 persen dan 17,45
persen.
Hutan produksi di wilayah DIY dikelola oleh Balai KPH Yogyakarta
(UPTD Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY). Potensi hutan produksi (13.411,7
hektar) didominasi oleh tanaman jati (50,79 persen) dan tanaman kayu putih
(34,32 persen). Nilai penjualan hasil hutan terus mengalami kenaikan selama
periode 2013-2015. Penjualan produk kehutanan terdiri dari kayu pertukangan,
kayu bakar, dan minyak kayu putih. Pada tahun 2013 total nilai penjualan hasil
hutan tercatat Rp. 7,59 miliar. Pada tahun 2014 dan 2015 nilainya meningkat
menjadi Rp. 7,83 miliar dan Rp. 8,61 miliar. Penjualan hasil hutan didominasi
oleh hasil penjualan minyak kayu putih yang nilainya mencapai 97 persen dari
total penjualan hasil hutan di DIY.
Di
sisi lain, produksi kayu bulat dari hutan rakyat mengalami fluktuasi meskipun
menunjukkan tren yang meningkat. Pada tahun 2013 produksi kayu bulat tercatat
sebanyak 73.395 m3, kemudian meningkat menjadi 113.930 m3 pada tahun 2014.
Namun tahun 2015 mengalami penurunan menjadi 109.609 m3. Fluktuasi produksi
tersebut terutama akibat adanya fluktuasi produksi di Kabupaten Gunungkidul,
sedangkan di kabupaten lain menunjukkan adanya tren kenaikan dari tahun ke
tahun. Selama 3 tahun terakhir, produksi kayu bulat di Gunungkidul memberikan
kontribusi sekitar 37,1 persen dari produksi kayu bulat di DIY yang berasal
dari hutan rakyat. Angka ini menempati urutan ke-2 setelah Kabupaten Kulonprogo
yang memberikan kontribusi sekitar 45,7 persen. Sementara Sleman dan Bantul
memberikan kontribusi masing-masing sebesar 13,2 persen dan 3,9 persen. Jenis
kayu yang banyak diusahakan oleh masyarakat adalah jati, rimba, mahoni, sono,
dan akasia.
Produksi
hutan rakyat selain kayu adalah bambu. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan
dan Perkebunan DIY, pada tahun 2015 produksi bambu di DIY tercatat 5.814 ribu
batang. Sentra produksi bambu adalah Kabupaten Sleman dengan jumlah produksi
sebanyak 3.958 ribu batang (68,08 persen). Daerah lain yang memberikan
kontribusi cukup besar adalah Kabupaten Bantul dengan jumlah produksi sebanyak
1.154 ribu batang (19,85 persen), kemudian diikuti oleh Gunungkidul sebanyak
695 ribu batang (11,96 persen) dan sisanya dari Kulonprogo.
G.
Peternakan
Pembangunan subsektor peternakan bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat akan pangan hewani, seperti daging, telur, dan susu yang
bernilai gizi tinggi. Daging, telur, dan susu merupakan sumber protein hewani
yang sangat dibutuhkan untuk proses perkembangan tubuh manusia. Protein hewani
dari daging dapat meningkatkan dan mempercepat penyerapan besi heme yang
merupakan pembentuk hemoglobin. Protein hewani juga sebagai sumber dari zat
besi heme pembentuk hemoglobin. Kebijakan di sub sektor peternakan diarahkan
untuk membangun dan mengembangkan usaha peternakan agar mampu meningkatan
produksi dengan kualitas yang baik dan harga terjangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat, meningkatkan kesejahteraan peternak, serta memperluas kesempatan
kerja. Dengan demikian usaha peternakan dapat memberikan sumbangan terhadap
perkembangan ekonomi wilayah.
Ternak
besar yang paling banyak diusahakan di DIY adalah sapi potong. Populasi ternak
sapi potong pada akhir tahun 2015 tercatat 306,7 ribu ekor, sedikit meningkat
dibanding tahun sebelumnya yang tercatat 302 ribu ekor. Sebagian besar ternak
sapi potong berada di Kabupaten Gunungkidul, yaitu sekitar 148,6 ribu ekor
(48,45 persen). Jumlah pemotongan ternak sapi potong pada tahun 2015 sebanyak
40,4 ribu ekor atau sekitar 13,2 persen. Untuk ternak besar yang lain
populasinya kurang dari 5 ribu ekor. Sentra usaha ternak sapi perah adalah
Kabupaten Sleman, dengan populasi ternak sekitar 93 persen dari total sapi
perah di DIY. Kondisi lingkungan di Sleman cukup kondusif untuk pengembangan
ternak sapi perah, terutama wilayah di kaki Gunung Merapi. Populasi kerbau
sebagian besar berada di Kabupaten Sleman dan Bantul. Sementara ternak kuda
lebih banyak ditemukan di Kabupaten Bantul.
Jenis
ternak kecil yang banyak diusahakan di DIY adalah kambing dan domba. Kedua
jenis ternak tersebut populasinya cenderung meningkat selama periode 2013-2015.
Pada tahun 2013 populasi kambing dan domba di DIY masing-masing tercatat 369,7
ribu ekor dan 156,9 ribu ekor. Tahun 2015 populasinya meningkat menjadi 400
ribu ekor dan 177,6 ribu ekor. Ternak kambing sebagian besar berada di
Kabupaten Bantul dan Gunungkidul. Kabupaten Bantul juga merupakan sentra ternak
domba. Tingkat pemotongan ternak juga mengalami kenaikan, baik untuk ternak
kambing maupun domba. Pada tahun 2013 tercatat ada 117,8 ribu ekor kambing dan
171,5 ribu ekor domba yang dipotong. Kemudian pada tahun 2015 jumlahnya
meningkat menjadi 173,6 ribu ekor kambing dan 459,9 ribu ekor domba.
H.
Perikanan
DIY memiiliki bagian wilayah yang berbatasan langsung dengan
lautan dan dilalui oleh beberapa sungai besar, sehingga memiliki potensi untuk
pengembangan usaha perikanan. Pengembangan sub sektor perikanan diharapkan
mampu meningkatkan nilai tambah sehingga potensi yang ada dapat meningkatkan
perekonomian wilayah dan kesejahteraan masyarakat. Sub sektor perikanan meliputi
perikanan darat dan perikanan laut. Produksi ikan darat di DIY pada tahun 2015
mencapai 69,17 ribu ton, meningkat sekitar 16 persen dari tahun sebelumnya yang
tercatat 59,50 ribu ton. Kabupaten Sleman merupakan penghasil ikan darat
terbesar d DIY. Sekitar 53 persen produksi ikan darat tahun DIY berasal dari
Sleman. Kondisi lingkungan di wilayah ini cukup mendukung untuk usaha perikanan
darat karena mempunyai sumber air yang cukup melimpah. Pengembangan budidaya
perikanan dan pembinaan petani ikan dengan sistem kelompok turut mendukung
usaha perikanan di Sleman. Dengan sistem tersebut, transfer pengetahunan dan
transfer teknologi diharapkan dapat dilakukan lebih efektif dan efisien. Selain
Sleman, Kabupaten Kulonprogo juga mempunyai kontribusi yang cukup besar, yaitu
sekitar 20 persen dari total produksi ikan darat di DIY pada tahun 2015. Di
sisi lain, Kota Yogyakarta memberikan andil yang sangat kecil, bahkan kurang
dari 1 persen. Dengan luas lahan yang terbatas dan kepadatan penduduk yang
tinggi, tidak memungkinkan untuk mendorong pengembangan usaha pertanian
termasuk perikanan di wilayah ini.
Pengembangan
usaha budidaya ikan di DIY sebagian besar dilakukan di kolam. Produksi ikan
dari hasil budidaya yang dilakukan di kolam memberikan kontribusi sekitar 94,93
persen dari total produksi ikan darat di DIY tahun 2015. Produksi ikan hasil
budidaya di kolam sebagian besar berasal dari Kabupaten Sleman, yaitu sekitar
55 persen. Sementara untuk produksi ikan hasil budidaya di tambak hanya sekitar
4,69 persen, dan sisanya merupakan hasil budidaya di karamba, jaring apung,
sawah (mina-padi), dan telaga. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa
usaha budidaya ikan di tambak belum berkembang di Provinsi DIY. Produksi ikan
hasil budidaya di tambak berasal dari wilayah-wilayah yang berbatasan langsung
dengan lautan yaitu Kabupaten Kulonprogo (79,57 persen), Kabupaten Bantul
(20,05 persen) dan Kabupaten Gunungkidul (0,37 persen).
Produksi ikan laut di DIY merupakan hasil penangkapan. Selama
periode 2012-2014 produksi ikan laut DIY mengalami peningkatan yang cukup
tajam. Pada tahun 2012 produksi ikan laut tercatat sebesar 2,57 ribu ton,
kemudian meningkat tajam menjadi 2,72 ribu ton pada tahun 2013 atau meningkat
sekitar 96,54 persen. Pada tahun 2014 produksinya kembali meningkat sekitar
6,03 persen mejadi menjadi 5,35 ribu ton. Dengan demikian, selama 2 tahun
terjadi peningkatan produksi ikan laut rata-rata 44,36 persen per tahun. Jenis
ikan laut yang banyak ditangkap oleh nelayan dari perairan laut selatan antara lain
tengiri, tongkol, layang, manyung, dan layur. Kenaikan produksi ikan laut pada
tahun 2014 terutama dari hasil penangkapan ubur-ubur (jelly fish) di wilayah
Gunungkidul. Produksi ikan laut DIY terutama berasal dari Kabupaten
Gunungkidul. Hasil penangkapan ikan laut di wilayah ini memberikan kontribusi
sekitar 83,29 persen pada tahun 2014.
Produksi
ikan laut sangat dipengaruhi oleh faktor iklim dan cuaca. Kondisi cuaca yang
kurang mendukung seperti gelombang laut yang tinggi di samudera Hindia
menyebabkan banyak nelayan yang tidak berani melaut sehingga berdampak terhadap
penurunan produksi ikan laut. Sarana dan prasarana penangkapan ikan juga turut
mempengaruhi tingkat produksi ikan laut.
I.
Nilai Tukar Petani
Nilai
Tukar Petani (NTP) merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat
kemampuan/daya beli petani di pedesaan. Penghitungan indikator ini diperoleh
dari perbandingan antara Indeks Harga Yang Diterima Petani (IT) dengan Indeks
Harga Yang Dibayar Petani (IB) yang dinyatakan dalam persentase. NTP juga
menunjukkan daya tukar (term of trade) antara produk pertanian yang dijual
petani dengan barang dan jasa yang dibutuhkan petani dalam berproduksi dan
konsumsi rumah tangga. Dengan membandingkan kedua perkembangan angka tersebut,
maka dapat diketahui apakah peningkatan pengeluaran untuk kebutuhan petani
dapat dikompensasi dengan pertambahan pendapatan petani dari hasil
pertaniannya. Semakin tinggi nilai NTP, maka kemampuan atau daya beli petani
secara relatif semakin meningkat.
Berdasarkan hasil pengamatan harga-harga pedesaan di wilayah
DIY, rata-rata NTP tahun 2015 mengalami penurunan indeks sebesar 1,07 persen
dibandingkan dengan tahun 2014, yaitu dari 102,24 menjadi 101,15. Penurunan NTP
tahun 2015 disebabkan oleh indeks harga yang dibayar petani meningkat lebih
ditinggi dibandingkan dengan kenaikan indeks harga yang diterima petani.
Penurunan NTP ini terutama disebabkan oleh penurunan NTP di subsektor
peternakan sebesar 4,31 persen dan subsektor perkebunan sebesar 0,99 persen.
Kenaikan NTP subsektor yang lain tidak mampu menutupi penurunan pada kedua
subsektor tersebut. Namun demikian, dengan nilai NTP di atas 100 menunjukkan
bahwa petani masih mengalami surplus. Artinya kenaikan harga produk pertanian
masih lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsi dan biaya
produksi.
Apabila
dirinci menurut subsektor, terlihat bahwa NTP subsektor tanaman pangan dan
subsektor hortikultura nilanya selalu di bawah 100. Artinya kenaikan
harga-harga produk tanaman pangan dan hortikultura tidak mampu mengimbangi
kenaikan harga-harga barang konsumsi dan biaya produksi pada kedua subsektor
tersebut, sehingga petani yang mengusahakan tanaman pangan dan hortikultura
selalu mengalami defisit. Dengan kata lain, daya saing produk tanaman pangan,
dan hortikultura relatif lebih rendah dibandingkan produk lain. NTP subsektor
peternakan pada tahun 2014 masih di atas 100, namun pada tahun 2015 terjadi
penurunan hingga nilainya kurang dari 100. Hal ini disebabkan oleh kenaikan
harga-harga barang konsumsi dan biaya produksi jauh lebih tinggi
dibandingkan kenaikan harga produk peternakan. Di sisi lain NTP subsektor
perkebunan dan subsektor perikanan nilainya selalu di atas 100. Artinya, petani
yang mengusahakan produk perkebunan dan perikan selalu mengalami surplus,
karena harga produk perkebunan dan perikanan naik lebih besar dibandingkan
dengan kenaikan harga konsumsinya. Dengan demikian, produk perkebunana dan
perikanan di DIY mempunyai daya saing yang realtif tinggi.
SUMBER
Nama
Kelompok 8 : (1EB11)
1.
Bima Indra Sutopo (21216424)
2.
Ismayagita Cipta Rifinaya (23216616)
3.
Riska Erviani (26216474)