SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA
Kehidupan Ekonomi Indonesia
Pada masa Tanam Paksa
Pada
tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat
perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di
Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus
melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi
kas pemerintahan jajahan yang kosong atau menutup defisit anggaran pemerintah
penjajahan yang besar. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam
dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara
yang sangat dibutuhkan pemerintah.
Ekonomi
Perang Masa Pendudukan Jepang - Pada jaman pendudukan Jepang kehidupan ekonomi
rakyat sangat menderita. Lemahnya ekonomi rakyat berawal dari sistem bumi hangus
Hindia Belanda ketika mengalami kekalahan dari Jepang pada bulan Maret 1942.
Sejak itulah kehidupan ekonomi menjadi lumpuh dan keadaan ekonomi berubah dari
ekonomi rakyat menjadi ekonomi perang. Langkah pertama yang dilakukan Jepang
adalah merehabilitasi prasarana ekonomi seperti jembatan, alat-alat
transportasi dan komunikasi. Selanjutnya Jepang menyita seluruh kekayaan musuh
dan dijadikan hak milik Jepang, seperti perkebunan-perkebunan, bank-bank,
pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan, telekomunikasi dan lainlain. Hal ini
dilakukan karena pasukan Jepang dalam melakukan serangan ke luar negaranya
tidak membawa perbekalan makanan Kebijakan ekonomi pemerintah pendudukan Jepang
diprioritaskan untuk kepentingan perang. Perkebunan kopi, teh dan tembakau yang
dianggap sebagai barang kenikmatan dan kurang bermanfaat bagi kepentingan
perang diganti dengan tanaman penghasil bahan makanan dana tanaman jarak untuk
pelumas.
Karena
dengan sistem desentralisasi maka Jawa merupakan bagian daripada “Lingkungan
Kemakmuran
Bersama Asia Timur Raya” mempunyai dua tugas, yakni:
-
memenuhi kebutuhan sendiri untuk tetap bertahan,
-
mengusahakan produksi barang- barang untuk kepentingan
perang.
Seluruh
kekayaan alam Indonesia dimanfaatkan Jepang untuk biaya perang. Bahan makanan dihimpun
dari rakyat untuk persediaan prajurit Jepang seharihari, bahkan juga untuk
keperluan perang jangka panjang. Beberapa tindakan Jepang dalam memeras sumber
daya alam dengan cara-cara berikut ini :
- Petani wajib menyetorkan hasil panen berupa padi dan jagung
untuk keperluan konsumsi militer Jepang. Hal ini mengakibatkan rakyat menderita
kelaparan
- Penebangan hutan secara besar-besaran untuk keperluan
industri alat-alat perang, misalnya kayu jati untuk membuat tangkai senjata.
- Perkebunan-perkebunan yang tidak ada kaitannya dengan
keperluan perang dimusnahkan, misalnya perkebunan tembakau di Sumatera.
- Penyerahan ternak sapi, kerbau dan lain-lain bagi
pemilik ternak. Kemudian ternak dipotong secara besar-besaran untuk keperluan
konsumsi tentara Jepang.
Dengan demikian
sumber daya manusia rakyat Indonesia khususnya di Jawa dimanfaatkan secara
kejam untuk kepentingan Jepang. Akibat dari tekanan politik, ekonomi, sosial
maupun kultural ini menjadikan mental bangsa Indonesia mengalami ketakutan dan
kecemasan
- Sejarah Perekonomian Indonesia Masa
Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
A.
Masa Pasca
Kemerdekaan (1945-1950)
Pada masa awal kemerdekaan keadaan
ekonomi dan keuangan sangat buruk, yang disebabkan oleh Inflasi yang sangat
tinggi , terjadi inflasi yang sangat tinggi karena ada 3 mata uang yang berlaku
di Indonesia yaitu De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan
mata uang pendudukan Jepang. Dan kemudian pada bulan oktober 1946 pemerintah RI
mengeluarkan uang kertas baru yaitu ORI ( Oeang Republic Indonesia ) sebagai
pengganti uang jepang.
B. Masa
Liberal
Permasalah ekonomi yang dihadai oleh bangsa Indonesia masih sama seperti
sebelumnya. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara
lain :
1.
Program Benteng (Kabinet Natsir)
2.
Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia
pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral
dan bank sirkulasi. (Kabinet Sukiman)
3.
Sistem ekonomi Ali (kabinet Ali Sastroamijoyo I)
4.
Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja
Bundar
5.
Gunting Syarifuddin
6.
Rencana Pembangunan Lima tahun (RPLT)
C.
Masa Demokrasi Terpimpin
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan
sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem
etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah).
1. Devaluasi yang diumumkan pada 25
Agustus 1959 menurunkan nilai uang
2. Pembentukan Deklarasi Ekonomi
(Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia.
3. Devaluasi yang dilakukan pada 13
Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1.
2.
Masa Orde Baru (1966 - 1998)
Struktur perekonomian Indonesia pada tahun
1950-1965 dalam keadaan kritis. Pada permulaan Orde Baru program pemerintah
berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha
mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan
kebutuhan pokok rakyat.
Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun
1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu
menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan
pemerintah. Secara garis besar, upaya pemulihan struktur perekonomian dan
pembangunan pada masa orde baru, pemerintah menempuh cara sebagai berikut :
1) Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi.
2) Kerja Sama Luar Negeri
3) Pembangunan Nasional
Selama masa Orde Baru terdapat 6
Pelita, yaitu :
1) Pelita I (1 April 1969 hingga 31 Maret 1974)
• Menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri yang
mendukung sektor pertanian.
• Tujuannya adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya dengan
sasaran dalam bidang Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat,
perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
2) Pelita II (1 April 1974 hingga 31 Maret 1979.)
• Menitik beratkan pada sektor pertanian dengan meningkatkan
insdutri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
• Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan,
sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan memperluas
kesempatan kerja.
• pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada
awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I
laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II,
inflasi turun menjadi 9,5%.
3) Pelita III (1 April 1979 hingga 31 Maret 1984.)
Menitikberatkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan
industri yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi.
4) Pelita IV (1 April 1984 hingga 31 Maret 1989.)
• Titik beratnya adalah sektor pertanian menuju swasembada
pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri.
• Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap
perekonomian Indonesia.
5) Pelita V (1 April 1989 hingga 31 Maret 1994.)
• Titik beratnya pada sektor pertanian dan industri.
• Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan
pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun.
6) Pelita VI (1 April 1994 hingga 31 Maret 1999.)
• Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi
yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan
kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
• Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama
pembangunan.
3.
Masa Reformasi (1998 - Sekarang)
a. Presiden B.J.Habibie
Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, Rupiah
Indonesia mulai merendah sekitar pada bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp
2.950 per dolar AS. Nilai rupiah dalam dolar mulai tertekan terus dan pada
tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai rekor terendah, yakni Rp 2.682 per
dolar AS sebelum akhirnya ditutup Rp 2.655 per dolar AS. Pada tahun 1998,
antara bulan Januaru-Februari sempat menembus Rp 11.000 per dolar AS dan pada
bulan Maret nilai rupiah mencapai Rp 10.550 untuk satu dolar AS.
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan transisi memiliki
karakteristik sebagai berikut:
• Kegoncangan terhadap rupiah terjadi pada pertengahan 1997,
pada saat itu dari Rp 2500 menjadi Rp 2650 per dollar AS. Sejak masa itu
keadaan rupiah menjadi tidak stabil.
• Krisis rupiah akhirnya menjadi semakin parah dan menjadi
krisis ekonomi yang kemudian memuncuilkan krisis politik terbesar sepanjang
sejarah Indonesia.
• Pada awal pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut
pemerintahan reformasi.
b. Presiden Abdurahman wahid
Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman
Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen
UU No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesia, penerapan otonomi daerah
(kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang
terus tertunda.
Politik dan sosial yang tidak stabil semakin
parah yang membuat investor asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di
Indonesia.
Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi
dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif,
bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan
daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman
Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara
dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde
baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs
rupiah.
c. Presiden Megawati Soekarnoputri
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi
antara lain:
-
Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$
5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang
luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
- Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah
menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi
perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi
beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena
BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
- Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam
pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor
berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya
pembangunan nasional.
d. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) kebijakan yang dilakukan adalah mengurangi subsidi Negara Indonesia atau
menaikkan harga Bahan Bahan Minyak (BBM), kebijakan bantuan langsung tunai
kepada rakyat miskin akan tetapi bantuan tersebut di berhentikan sampai pada
tangan rakyat atau masyarakat yang membutuhkan, kebijakan menyalurkan bantuan
dana BOS kepada sarana pendidikan yang ada di Negara Indonesia. Akan tetapi
pada pemerintahan SBY dalam perekonomian Indonesia terdapat masalah dalam kasus
bank century yang sampai saat ini belum terselesaikan bahkan sampai
mengeluarkan biaya 93 miliar untuk menyelesaikan kasus bank century ini.
Kondisi perekonomian pada masa
pemerintahan SBY mengalami perkembangan yang sangat baik. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia tumbuh pesat di tahun 2010 seiring pemulihan ekonomi dunia pasca
krisis global yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2009.Bank Indonesia (BI)
memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5,5-6 persen pada
2010 dan meningkat menjadi 6 - 6,5 persen pada 2011. Dengan demikian, prospek
ekonomi Indonesia akan lebih baik dari perkiraan semula.
Masa
Kepeminpinan Jokowi dan Yusupkala
Pak jokowi nmengeluarkan 3 paket kebijakan,
yaitu :
a. Mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi dan
debirokrasi. “Ada 89 peraturan yang diubah dari 154,” kata Jokowi.
“Sehingga ini bisa menghilangkan duplikasi, bisa memperkuat, dan memangkas
peraturan yang tidak relevan, atau menghambat industri nasional.”
b. Mempercepat proyek strategis nasional, termasuk
penyediaan lahan dan penyederhanaan izin, serta pembangunan infrastruktur.
c. Meningkatkan investasi di bidang properti dengan mendorong
pembangunan rumah untuk
masyarakat berpenghasilan rendah. Diharapkan kebijakan ini akan membuka peluang
investasi yang lebih besar di sektor properti.
REFERENSI:
Nama Kelompok : (1EB11)
- Bima Indra Sutopo (21216424)
-
Ismayagita Cipta Rifinaya (23216616)
- Riska Erviani (26216474)